Kamis, 20 Februari 2014

PEREMPUAN DALAM BINGKAI BUDAYA


 Perempuan dalam perspektif Bugis Makassar
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawito, Sidenreng, dan rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian Darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kebupaten yaitu Luwu, Bone, Soppeng, sidrap, Pinrang, Barru.
Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah BulukumbaSinjaiMaros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
Dalam masyarakat bugis Makassar, perempuan di sebut makkunrai (bugis) atau baine (Makassar). Yang mengandung makna tersendiri, yakni
1.            “Makkunrai”
Makkunrai adalah penyebutan orang Bugis terhadap Gender perempuan. Penyebutan “Makkunrai”berasal dari kata”Unre”, yakni sejenis busana rok bawahan yang jika ditambah awalan “ma” dan akhiran “i” sebagai kata kerja, berarti pemakai Rok. Maka bahasa bugis mencitrakan gender tersebut dari sejenis busana yang lazim dipakainya.
2.            Baine’
Orang Makassar lebih membahasakannya dengan lebih “agung” lagi, yakni : Baine yang mendekati kata bine (benih atau cikal bakal), sehingga dapat dimaknai sebagai “asal atau permulaan”.
Namun bagaimanapun perbedaan harfiah dan makna terhadap perempuan bagi kedua suku bangsa terbesar di Sulawesi ini, tetap saja menempatkan perempuan sebagai puncak martabat kemanusiaannya. Bukan sekedar symbol, melainkan merupakan esensi luhur yang menandai derajat dan martabat dalam suatu rumpun keluarga. Sebagai contoh : suatu keluarga dapat dinilai tingkat strata sosialnya ketika anak gadisnya dilamar dengan jumlah mahar (mas kawin) tertentu.



B.   Peran dan Kedudukan perempuan dalam masyarakat bugis Makassar
Kedudukan perempuan dalam masyarakat bugis Makassar sangat dipengaruhi oleh hukum adat yang tak tertulis namun di ajarkan secara turun temurun. Perempuan secara umum di kualifikasikan sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masayarakat. Begitu juga dalam konteks masyarakat bugis Makassar, yaitu:
1.            Perempuan sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat.
Dalam tradisi Bugis, peran perempuan tidak hanya dijadikan simbol kejelitaan atau pengasuh rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya. Namun jauh sejak masa epos La Galigo mula dikisahkan, Perempuan Bugis sudah ikut mendominasi pranata sosial-budaya dan politik di kerajaan-kerajaan Bugis.
Nenek moyang Bugis yang disebut Tomanurung dikisahkan tidak hanya seorang lelaki bernama Batara Guru, tapi juga disandingkan dengan personifikasi perempuan jelita bernama We Nyilik Timo, permaisurinya. We Nyilik Timo juga dipercaya sangat berperan melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pondasi bangunan kebudayaan Bugis awal.
Dalam buku History Of Java (1817) Thomas Stanford Raffles mencatat kesan kagum akan peran perempuan Bugis dalam masyarakatnya “The women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world” (Perempuan Bugis Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan kekerasan, pelanggaran privacy atau dipekerjakan paksa, sehingga membatasi aktifitas/kesuburan mereka, dibanding yang dialami kaumnya di belahan dunia lain).
Status sosial perempuan Bugis tampaknya cukup tinggi.Hal itu dapat kita lihat baik dalam realitas sosial maupun dalam naskah kuno. Secara sosial kita bisa menyebut  sosok Colliq Pujié, seorang perempuan Bugis yang hidup pada abad ke-19 yang berprofesi sebagai penulis, sastrawan dan juga negarawan. Dalam naskah kuno perempuan Bugis disebut berani (materru') dan bijaksana (malampé' nawa nawa).
Walau begitu, tugas utama dari seorang perempuan Bugis adalah menjadi seorang ibu yang salehah, baik dan tulus (mancaji Indo ana  tettong ridécéngngé, tudang ripacingngé), menjadi penuntun suami yang jujur, hemat dan bijaksana sekaligus mitra pendukung dan penopang dalam mengatasi segala kesulitan maupun perjuangan dalam mengatasi segala hal (Mancaji pattaro tettong rïlempu'é punnai cirinna enrengngé lampu 'Nawa-Nawa mméwai sibaliperri' waroanéna Sappa 'laleng atuong), menjadi kebanggaan ayahnya, saudaranya dan suaminya untuk menjaga kehormatan hidupnya (mancaji 'siatutuiang siri na enrengngé banapatinna ritomatoanna, risiléssureng macoana letih' ga riworoanéna)
Posisi, gelar, dan profesi seorang Ibu sangat dijunjung tinggi dalam tradisi dan budaya Bugis-Makassar. Oleh karena itu seorang ibu harus kemudian menjaga kesucian, kesalehan dan kecerdasannya. Seorang ibu harus selalu meng-update pengetahuannya. Seorang ibu sangat penting untuk membaca dari waktu ke waktu membantu meningkatkan kesadaran dan visi.
Ibu adalah jendela pertama bagi seorang bayi dan menjadi pengontrol bagi suaminya. Ketika bayi lahir, Ibu memainkan peranan penting dalam memperkenalkan bayi kepada dunia. Masa depan anak sangat tergantung pada ibu. Sikap, pandangan dan seluruhnya semua diperoleh sang bayi dari seorang ibu. Seorang ibu yang sempurna akan lebih baik dari seribu guru.
Di sisi suami, seorang perempuan adalah manajer (Pattaro).  Semua hal yang datang dan masuk ke sebuah rumah harus sepengetahuan dan seizin istri. Dalam rumah tangga ia adalah "ratu", menggantikan posisi suami jika sedang tak ada di rumah untuk menjaga diri dan harta benda. Oleh karena itu perempuan Bugis harus juga pandai berhemat, cermat dan mengetahui kebutuhan dan kepentingan rumah tangga. Oleh karena itu perempuan bugis-makassar ketika memutuskan untuk menikah maka seluruh pilihan hidupnya harus dicurahkan sepenuhnya kepada rumah tangga. Setelah itu kemudian baru bisa memilih ruang publik sebagai aktivitas berikutnya, manakala urusan rumah tangganya telah selesai dengan sempurna.

2.          Peran budaya (culturel)
Budaya Bugis-Makassar  tidak  membatasi perempuan untuk berekspresi menjadi pemimpin. Satu di antara perempuan Bugis yang terkenal memperjuangkan kemerdekaan pada masa pemerintahan Belanda adalah Opu Daeng Siradju. Opu Daeng Siradju memperoleh gelar sebagai macan betina dari Timur, terbukti dengan beberapa kali beliau keluar-masuk penjara tetapi dalam dirinya tak sedikit pun rasa gentar terlebih lagi mundur sebelum Indonesia meraih kemerdekaan. Sehingga, dalam ruang-ruang kultural perempuan dan laki-laki Bugis-Makassar terpatri konsep kesejajaran peran dan fungsi. Artinya, walaupun memiliki hak dan kewajiban yang sama, namun tetap terdapat batasan kerja individual yang terbentuk secara fitrawi.
Peran perempuan hebat lainya dapat kita temukan di desa Bontoloe Kab. Gowa perempuan ini di percaya lebih mampu di bandikan sosok seorang laki-laki dalam hal ritual, di Bontoloe, adaq baine selalu menikah dengan  pemangku jabatan tradisional, kecuali karaeng. Adaq baine dari penguasa desa adalah perempuan yang bertanggung jawab terhadap kalompoang dan yang bertugas menyenggarakan ritual yang berkaitan dengan pusaka keramat tersebut, Perempuan dewasa ini bertanggung jawab terhadap pusaka keramat di Bontoloe telah mengembang tugas tersebut sekitar 30 tahun sementara selama periode yang sama karaeng telah di pengang oloh empat orang. Perempuan yang memelihara kalompoang, yang tidak dapat di ganti selama dia masih hidup, menepati jabatan adaq yang tertinggi di desa.Dia di anggap sebagai perwakilan adaq yang paling tinggi, termasuk dalm kepempinan politik dan spiritual, sementara karaeng tidak lebih dari pelaksanaan kekuasaan politik di bawah legitimasi pusaka keramat. Sinong, perempuan tua yang bertugas menjaga kalompoang Bontoloe, adalah orang yang pada saat yang sama di pandang memiliki pengetahuan yang paling mendalam tentang adaq serta kepercayaan tradisional.
Pada umumnya kaum perempuan merupakan “pemeran utama” dalam praktek kepercayaan tradisional sehari-hari. Mereka dianggap ahli dalam bidang itu dan hal itu semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa di beberapa desa, kaum perempuan berperang pula sebagai dukun (sanro). Selama pelaksanaan ritual, kaum perempuan mempersiapkan dan mengatur berbagai jenis persembahan dan memastikan agar seluruh rangkaian upacara dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan dalam kepercayaan dan adaq. Selain itu perempuan juga bertanggung jawab terhadap semua unsur “keduniawian” suatu ritual, seperti memasak dan menyajikan hidangan kepada para peserta dari desa tersebut yang nenghadiri upacara, maupun peserta yang datang dari tempat lain. Dalam istilah modern, kita dapat katakan bahwa manajemen kepercayaan tradisional lebih banyak di serahkan kepada kaum perempuan, sedang kaum pria lebih mendominasi pelaksanaan ritualnya, termasuk membakar kemenyan, membacakan mantra (baca-baca), menyucikan sesuatu dengan air atau minyak. Hal itu khususnya terjadi dalam ritual menyangkut hubungan simbolis antara kepercayaan dengan struktur politik komunitas tersebut. Sebaliknya perempuan melaksanakan sebagian besar ritual atau tahapan-tahapan ritual dalam ruang lingkup pribadi atau keluarga, misalnya ritus-ritus daur hidup.

3.            Perempuan sebagai Perantara Penyampaian Tinjaq
Meski agaknya baru muncul relatif lebih belakangan dan masih jarang di temukan, tinjaq kategori ini yang di buat karna ingin memperoleh harta kekayaan atau kemakmuran yang juga berhubungan dengan ‘pola pertukaran’ antara manusia dengan roh ‘penghuni’ pusaka keramat. Munculnya tinjaq seperti itu di sebabkan oleh semakin bertambahnya pola hidup materialistis yang bahkan telah menyusup hingga ke pelosok pedalaman.
Jika dulu perekonomian masyarakat sepenuhnya berlandaskan sistem pertukaran produk makanan serta barang lainnya, dan kesejangan standar kehidupan relatif kecil, maka meningkatnya jumlah saudagar, guru, dan pegawai lainnya yang kondisi keuangannya lebih baik dibanding para petani, sehingga terjadi perubahan fundamental dalam hal sikap mereka terhadap uang dan kekayaan dan material lainnya. Akibatnya janji memberi persembahahan roh penghuni kalompoang bila seseorang dibantu untuk memperbanyak harta kekeyaannya adalah sesuatu yang dianggap biasa. Selanjutnya, pendidikan medern adalah faktor lain yang juga membawa perubahan terhadap isi suatu tinjaq.
Contoh kasus:
Pada usia 18 tahun, Ibrahim tengah bersiap menghadap ujian akhir SMA di Ujungpadang. Dia meminta ibunya, Celo, untuk membawa sesisir pisang ke kalompoang Bontoloe, kampung halaman ibu Celo. Sinong, penjaga pusaka keramat tersebut melakukan ritual di mana Celo membuat tinjaq untuk mempersembahkan empat ekor ayam besar kepada kalompoang jika anaknya dibantu untuk lulus dalam ujian akhir nanti. Selain sinong dan Cole, tidak ada orang lain yang terlibat dalam ritual itu.
Ritual tersebut adalah contah tinjaq yang dibuat secara ‘resmi’ yang tidak dapat ‘dilupakan’ begitu saja seperti halnya tinjaq yang hanya diniatkan dalam hati, karena paling tidak sinong menjadi saksi dibuatnnya dan isi tanjaq tersebut. Tampak jelas posisi perempuan sebagai perantara dengan pusaka keramat: dalam hal ini, bukan ibrahim yang langsung membuat tinjaq di depan kalompoang, namun di wakili oleh ibunya. Setelah lulus ujian akhir, Ibrahim ikut serta dalam ritual yang di lakukan beberapa minggu kemudian untuk menunaikan tinjaq tersebut.

C.           Hukum adat bagi perempuan bugis Makassar
Hukum adat adalah suatu aturan atau norma yang ada di dalam masyarakat yang tidak tertulis namun disepakati secara bersama-sama untuk kemashalatan bersama tanpa memandang kalangan apapun dalam penerapannya dan diturunkan secara turun temurun dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu sebagai pendukung kebudayaan tersebut. Adapun hukum adat disebut pegadereng, yang terdiri atas:
a.    Ade’ yaitu unsur dari pangadereng yang lebih dikenal dengan kata norma atau adat. Ade’ ini secara khusus terdiri beberapa bagian yaitu :   Ade’ yaitu unsur dari pangadereng yang lebih dikenal dengan kata norma atau adat. Ade’ ini secara khusus terdiri beberapa bagian yaitu :
v  Ade’ akkalibinengen, yaitu adat atau norma mengenai hal ihwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan berwujud sebagi kaidah kaidah perkawinan, kaidah-kaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam berumah tangga dan sopan santun pergaulan antar kaum kerabat
v  Ade’ tanaatu norma-norma mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah negara dan berwujud sebagai wujud hukum negara, hukum antar negara, serta etika dan pembinaan insan politik
Untuk pengawasan dan   pembinaan ade dalam masyarakat bugis biasanya dilakasanakan oleh beberapa pejabat adat seperti pakka tenniade’, puang ade’, pampawa ade’, dan parewa ade’.
b.    Bicara adalah unsur bagian dari pangadereng yang mengenai aktivitiet dan konsep konsep yang tersangkut paut dengan peradilan, maka kurang lebih sama dengan hukum acara, mementukan prosedurnya, serta hak-hak dan kewajiban seorang yang sedang mengajukan kasusnya di muka  pengadilan atau yang mengajukan penggugatan.
c.    Rapang bererti contoh, perumpamaan, kias atau analogi. Sebagai unsur bagian dari pangadereng, rapang menjaga kepastiaan  dan kontiniutet dari suatu kpeutusan hukum tak tertulis dalm masa yang lampau sampai sekarang dengan membuat analogi antara kasus dari masa yang lampau itu dengan kasus yang sedang digarap. Rapang juga berwujud sebagai perumpamaan-perumpamaan yang mengajukan kelakuan ideal dan etika dalam lapangan hidup yang tertentu seperti lapangan kehidupan kekerabatan, lapangan kehidupan berpolitikdan memerintah negara dsb.Selain dari itu rapang juga berwujud sebagai pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat ganguanterhadap hak milik serta ancaman terhadap keamanan seorang warga masyarakat.
d.    Wari’ adalah unsur bagian dari pangadereng yang melakukan klasifikasi dari segala benda, peristiwadan aktivitietnya dalam kehidupan masyarakat menurut kategori-kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan  tata penempatan hal hal dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat untuk memelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial; untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja-raja dari negara-negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang tua dan mana yang muda dalm tata upacara kebesaran.
e.    Sara’ adalah unsur bagian dari pangadereng yang mengandung pranata-pranata dan hukum islam dan yang melengkapkan ke empat unsurnya menjadi lima. Sistem religi masyarakat Sulawesi Selatan   sebelum masuknya ajaran islam seperti yang tampak dalm sure’ lagaligo, sebenarnya telah mengandung sutu kepercayaan terhadap dewa yang tunggal yang disebut dengan beberapa nama seperti patoto-e (maha menentukan nasib), dewata sewwae (dewa yang tunggal), turie’ a’rana(kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan seperti ini masih tampak jelas misalnya beberapa kepercayaan tradisional yang masi bertahan sampai sekarang misalnya pada orang tolotang, di kabupaten sidenreng rappang dan pada orang ammatoa di kajang daerah bulukumba..



D.   Anyyala, Siri’ perempuan bugis Makassar
Annyala dalam terminologi Makassar diartikan sebagai ‘kebersalahan’ atau dalam bahasa gaulnya dapat diartikan ‘nakal’.Namun “Annyala” yang ingin penulis jelaskan disini bukanlah Annyala dalam pengertian umum, tapi Annyala dalam konteks perkawinan atau kebersalahan dalam perkawinan. Biasa kita mendengar ucapan,  atau “anjo baine annyala” (makassar : itu perempuan bersalah), maka yang dimaksudkan dalam kalimat tersebut adalah kebersalahan dalam konteks perkawinan. Karena itu, biasanya pula orang tua kita yang mendengar pernyataan seperti itu, tidak lantas meneruskan pertanyaannya karena sangat sadar bahwa kalimat tersebut didalamnya mengandung konsekuensi rasa malu dan taruhan harga diri (siri’).
Tomasirik adalah orang orang yang merasa dipermalukan ketika kelurganya dari   pihak gadis  yang dibawa lari oleh laki-laki tampa restu darinya. Dalam masyarakat bugis yang disebut to masirik adalah paman dari si perempuan atau saudara laki-laki dari perempuan dan berhak memberikan hukuman kepada anyyala.

1 komentar: